Minggu, 21 Juni 2009

PERKEMBANGAN BAHTSUL MASA'IL

Perkembangan Bahtsul Masail

Senin, 12 April 2004 09:54

KH Ma’ruf Amin

Dalam tradisi bahtsul masail, telah terjadi perubahan metodologi dan obyek pembahasan untuk istimbat al-hukm di Lembaga Bahtsul Masail NU. Awalnya, bahtsul masail itu hanya membahas masalah waqi’iyah saja, tetapi setelah Munas Lampung, dalam bahtsul masail ditambahkan pembahasan tentang maudlu’iyah (tematik), yaitu membahas hukum Islam secara tematik. Kemudian pada Munas Surabaya tahun 2006 yang lalu, telah ditambahkan pembahasan masalah qanuniyah (perundang-undangan). Jadi kita mempersiapkan Lembaga Bahtsul Masail NU itu untuk membahas tiga masalah besar tersebut.

Dan membahas masalah waqi’iyah itu lebih simple dan gampang, tetapi masalah maudlu’iyah dan qanuniyah itu tidak dapat dijalankan secara mendadak, ini kajian yang dirancang panjang. Jadi pembahasan maudu’iyah dan qanuniyyah perlu kajian yang mendalam dan tidak sesimpel pembahasan waqi’iyah.

Kenapa harus menambah pembahasan qanuniyah? Karena terdapat persoalan perundang-undangan yang harus mendapatkan respon kita. terdapat tiga hal dalam bidang tersebut yang perlu mendapatkan perhatian; Pertama, konsep-konsep taqlili, kita punya konsep-konsep apa yang dapat ditanggungkan. Kedua, review terhadap undang-undang yang ada. Undang-undang mana yang mukhalafatu bi al-syar’iah dan mana yang mutabaqahtu bi al-syar’iah, itu kita jadikan review pengkajian. Ketiga, menyikapi RUU yang akan dibahas yang jumlahnya banyak itu. Apa ini mau kita waspadai atau kita buat kajian-kajian dalam melihat itu. Jadi ada review Undang-Undang dan ada kajian-kajian RUU yang akan diundangkan. Sebagai organisasi besar yang memiliki landasan pemikiran yang kuat, maka hal itu harus kita lakukan. Sehingga bahtsul masail baik itu di Munas maupun di Muktamar itu tidak seketika ada begitu saja, tetapi kita persiapan dahulu melalui lajnah bahtsul masail. Itu adalah ide-ide yang dahulu dikembangkan.

Kemudian yang ketiga adalah berbagai langkah yang akan diambil oleh Nahdlatul Ulama di dalam menjalankan peran-perannya. Supaya ada landasannya, ketika kita bersikap dalam merespon hal itu. Sikap Nahdlatul Ulama itu harus berdasarkan khithah, dan khithah itu, sepanjang yang saya tahu, terdiri dari dua hal. Pertama, fikrah nahdliyah dan yang kedua adalah harakah nahdliyah. Jadi gerakan-gerakan NU itu ada pakemnya, bukan hanya sekedar bergerak tanpa aturan yang jelas. Kalau fikrah nahdliyah itu landasannya ma ana alaihi wa ashabi (legitimasi dari Nabi Muhamad saw dan shabat-shahabatnya). Kalau harakah nahdliyah itu landasannya ma alaihi muassisuna min aqwalihim wa af’alihim wa taqriratihim, jadi apa-apa yang telah dilakukan oleh muassis (pendiri NU dari berbagai ucapan-ucapan, langkah-langkah, dan ketetapan-ketetapan mereka). Jadi pada hakikatnya harakah nahdliyah adalah implementasi dari fikrah nahdliyah yang dilakukan oleh para muassis. Oleh karena itu, terdapat suatu pakem untuk kita (orang NU). Dan untuk sekedar mengetahui harakah nahdliyah perlu dilakukan yang namanya al-istiqra’u wa al-tahqiq (penelitian dan penyelidikan). Dengan adanya kebutuhan tersebut, maka dibentuklah lajnah bahtsul masail di Muktamar Yogyakarta, yang sekarang menjadi berubah menjadi Lembaga Bahtsul Masail. Menurut saya, lembaga ini sangatlah strategis dan bukan tanpa tujuan.

Oleh karena itu, apa yang dikerjakan Lembaga Bahtsul Matsail ini? Menurut saya, yang pertama adalah menyusun kerangka-kerangka atau pokok-pokok pikiran tentang apa yang akan diperjuangkan oleh NU. Yaitu an-nadhariyah, al-Islamiyah al-Nahdliyah. Jadi tugasnya menyusun pokok-pokok pikiran apa yang akan diperjuangkan NU, menyusun pemikiran Islam berdasarkan pandangan NU. Tapi kadang-kadang konsep-konsep seperti ini tidak ada. Kedua, mentransfer an-nadhariyah, al-Islamiyah al-nahdliyah ke luar pemikiran. Jadi pemikiran-pemikiran itu ditransfer ke dalam bentuk operasionalisasi, yaitu konsep-konsep yang lebih implementatif. Jadi naqlu an-nadhariyah al-islamiyah, al-nahdliyah ila waqi’iyah. Ketiga, mu’alajah al-nadhariyah al-islamiyah al-nahdlyah (memberi terapi, pelurusan, dan perbaikan) terhadap keadaan lapangan dengan konsep-konsep an-nadhariyah al-nahdliyah, pemikiran-pemikiran NU itu di mana sebenarnya ketika dalam posisi ini. jadi kita harus memotret berbagai madzab, baik pemikiran-pemikiran maupun firqah-firqahnya baru memberi pelurusan. keempat, yang menurut saya penting adalah i’adah nadhar telaah ulang terhadap an-nadhariyah, al-Islamiyah, wa naqliyah. Mana yang tidak relevan lagi? Seperti misalnya kita melihat yang dijelaskan dalam Asab’ al-Mufidah, i’lam alamatu as-syafi’iyah lil wal’u lahum ikhtiyaratun mukhalifatun li madzhabi al-imamu syafi’i, jadi di dalam madzhab Syafi’i terdapat pendapat-pendapat yang menyalahi pendapat Imam Syafi’i. Karena i’timalu amalalii ta’ashurin.., karena kalau itu dipakai akan sulit, karena tidak bisa dipakai dan itu banyak sekali, tetapi tidak keluar dari madzhab walaupun berbeda dengan pendapat imam Syafi’i. Wa ma dalilu istinbath, apa itu dalil Istinbath, wa qiyas dan qiyas, atau mengambil dalil-dalil yang tidak sahih. Jadi melakukan penelaahan ulang terhadap berbagai nadhariyah itu sepanjang kita bisa melakukan. Seperti yang sekarang dilakukan yaitu melakukan tahqiq al-manad melakukan upaya penelitian dan relevansi berbagai masalah dengan kaidah-kaidah hukum. Yang menggunakah kaidah namanya intiha’u hukmi, intiha’u ilat, hukum yang dihilang, karena ilat hilang, ini bisa terjadi. Misalnya kasus Sayidina Umar yang tidak membagikan zakat pada para mualaf, dan ini oleh Islam Liberalis dikatakan bahwa Sayidina Umar melakukan raadu al-nash bi al-maslahah (menolak nash dan mementingkan maslahat). Dan saya kira itu tidak betul, yang dilakukan oleh Sayidina Umar itu tahqiq al-manad, yaitu melakukan verifikasi terhadap relevansi hukum karena memandang mualafatu qulubuhum sudah tidak perlu karena Islam sudah kuat. Karena sudah kuat maka dipandang tidak lagi memerlukan zakat. Jadi itu yang namanya intiha’u illah wa intiha hukmi bukan raddu nash bi maslahat yang mereka lakukan adalah kesalahan pengamatan, oleh karena itu kita perlu membahas kerangka ushul fiqh yang lebih tajam. Dan kelima, al-ajwiba anil asilah, kita harus menjawab berbagai pertanyaan. Di mana di dalam masyarakat terdapat banyak pertanyaan, dan kita harus mencoba menjawab itu melalui bahtsul masail. Baik itu masalah waqi’iyah, maudu’iyah, atau masalah qanuniyah, memang untuk itu kita harus hati-hati.Lalu apa yang menjadi rujukan hal itu. Saya kira NU paling lengkaplah untuk soal itu. Pertama, nashus al-Syariyah (nash-nash). Kedua, qwal al-Ulama al-muktabarah (pendapat-pendapat) terdahulu dalam kitab-kitab muktabarah. Kemudian, keputusan-keputusan NU, baik yang didapat dari Muktamar maupun dari Munas-Munas. Ini bisa Juga qararat al-majma’ al-islamiyah al-alamiyah (keputusan-keputusan forum-forum Islam yang sifatnya internasional). Dan yang kelima, ketika kita melakukan istinbat yaitu al-qawaid wa dawabid al-fikriyah dapat dijadikan rujukan dalam melihat pandangan-pandangan untuk mengambil putusan. Jadi itu hal-hal penting dalam bahtsul masail. Dan hal yang paling penting lagi adalah sumber daya manusianya. Sumber daya manusia itu berbicara kemampuan. Dan saya kira tugas paling berat adalah menghimpun sumber daya manusia sebagai narasumber. Untuk itu kita harus banyak melatih, tetapi untuk itu kita tidak perlu menciptakan mujtahid mutlak. Karena mujtahid mutlak itu tidak ada sekarang ini, yang ada adalah orang-orang yang mengutip pendapat-pendapat para fuqaha dan orang-orang ahli ijtihad. Asal bisa mengutip itu sudah cukup. Oleh karena itu imam Syatibi menyatakan bahwa ilmu itu ada di hati di tokoh-tokoh. Di dalam I’anah at-Thalibin juga disebutkan bahwa cukup adanya yang melakukan pembelaan-pembelaan ilmu syara’, dan yang penting dapat membuat keputusan-keputusan ifta’ dan fatwa-fatwa. Jadi tidak perlu menjadi mujtahid mutlak, karena mujtahid mutlak itu sudah putus 400 tahun yang lalu. Kemudian hal lain penting untuk kita semua, bahwa LBM itu adalah manhajul bahst (metode pembahasan)nya yang itu sudah ada dalam keputusan Lampung, yang materinya sudah ada sejak dulu, hanya saja belum dirumuskan. Dan metode Lampung itu dimaksudkan untuk tathwir an-nadhariyah al-nahdliyah, jadi untuk mendimanisir, karena pada waktu itu tahun 90-an, kita mengalami konservatisasi, dengan adanya tekstualisasi pemikiran. Jadi pada waktu itu kita dorong ke dinamisasi pemikiran. Oleh karena itu periode itu saya menamakan tajdidu fiqrah al-nahdliyah. Kalau tahun 1926 itu namanya taqsis, penginstitusian, peletakan dasarnya, taksis fiqrah al-nahdliyah. Dan munas lampung saya namakan tajdid fiqrah al-nahdliyah. Namun kemudian dinamisasi ini mengalami liberalisasi pemikiran. Oleh karena itu periode pasca-Munas Surabaya dinamakan tashih al-fiqrah al-nahdliyah, yaitu melakukan pelurusan-pelurusan melalui tashwiyatul fiqrah an-nahdliyah, yaitu penjernihan-penjernihan. Jadi konservatisasi kemudian menjadi terlalu dinamis, melalui tadi kita lakukan pelurusan-pelurusan. Sehingga prinsip cara berfikir Nahdlatul Ulama itu tetap pada empat landasan. Yaitu tawashutiyah, tasamuhiyah, tathawuriyah, dan manhajiyah. Kita letakkan landasan pemikiran ini pada Munas di Surabaya. Dan kemudian kita kembangkan lagi dalam rangka harakah al-nahdliyah li ta’sisu muasitsu ala matsasu muasitsun. Kemudian ada juga yang namanya tajdid, ketika NU tenggelam di dalam politik, kemudian diluruskan kembali dalam Muktamar Sitobondo. Namun sekarang kita perlu meluruskan kembali supaya sesuai dengan ma assasa al-muasisun atau ma mafa’ala muasisun, ma qola al-muasisun. Maka dari itu, kami harapkan LBM nantinya akan membuat suatu konsep mengenai harakah al-nahdliyah. Dan nanti dalam Muktamar ke depan kita akan jadikan tashih fiqrah an-nahdliyah. Kemudian kesulitan apa yang kita hadapi? Pertama, kesulitan tenaga yang memiliki kemampuan sebagai narasumber. Jadi memang tidak banyak orangnya saat ini. kedua, kesulitan melakukan penyusunan. Nadhariyah, Islamiyah, itu tidak gampang. Karena masalah yang dihadapi banyak sekali, ketika melakukan pengamatan kita cari masalah yang kira-kira dapat diselesaikan dan sesuai dengan agenda Muktamar. Baik yang sifatnya maudiyah, qanuni, maupun waqi’iyah, itu semua kita potret. Dan yang ketiga, paling sulit yaitu al-farqu baiana al-waqi’i, melakukan upaya relevansi antara pemikiran dan kenyataan. Bagaimana konsep-konsep direlevankan pada kenyataan yang ada. Dan ini tidak mudah, dan oleh karena itu sekarang adalah al-ijtihad lil tahqiqi manad, yaitu ijtihad dengan melakukan verifikasi pada apa yang menjadi tujuan. Sehingga karena ini tidak mudah maka dari itu kita memerlukan orang-orang yang memiliki kemampuan.

Kemudian masalah-masalah di dalam hal ini, saya kira hanya perlu melakukan upaya saja, formal ataupun subtantif. Jadi sebenarnya masalah agama dan negara itu sudah selesai sejak NKRI berdiri. Dan sejak kita kembali pada Undang-Undang 1945. Dan sekarang ini yang menjadi masalah adalah isi. Apakah Islam atau agama-agama yang lain sebagai sumber inspirasi dan kaidah penuntun di dalam kehidupan bernegara. Dan Islam sendiri memiliki sumber materi yang banyak yang dapat disumbangkan yang bisa menjadi nadhariyah islamiyah kemudian menjadi nadhariyah wataniyah, menjadi kerangka berfikir kebangsaan. Nah, kemudian bagaimana menjadi kerangka berfikir Islam ini menjadi kerangka berfikir kebangsaan? Dan ini sekali lagi tidak mudah. Oleh karena itu pendekatannya pada apa yang bisa dilakukan saja. Jika hanya formalnya saja yang bisa, maka formal saja yang akan kita tangani. Atau jika isinya makan isinya yang harus ditangani. Dan inilah yang saya katakan sebagai harakah al-nahdliyah yang dilakukan oleh muasisun fi mualimuna wa alaihim wa ala tanihim.

Sabtu, 20 Juni 2009

BAHTSUL MASA'IL


HUKUM BAYI TABUNG

Pertanyaan

Bagaimana hukumnya mengerjakan proses bayi tabung. Bayi tabung ialah bayi yang dihasilkan bukan dari persetubuhan, tetapi dengan cara mengambil mania tau sperma laki-laki dan sel telur wanita, lalu dimasukan kedalam suatu alat dalam waktu beberapa hari lamanya. Setelah hal tersebut dianggap mampu menjadi janin, maka dimasukkan kedalam rahim ibu.

Jawaban

Hukumnya tafsil sbb:

  • Apabila sperma yang di tabung dan yang dimasukan ke dalam rahim wanita tersebut ternyata bukan sperma suami istri, maka hukumnya haram.
  • Dan apabila sperma/mani yang ditabung tersebut sperma suami istri, tetapi cara mengeluarkannya tidak muhtarom, maka hukumnya juga haram.
  • Bila sperma yang ditabung itu sperma/mani suami istri dan cara mengeluarkannya muhtarom, serta dimasukan ke dalam rahim istri sendiri maka hukumnya boleh.

Keterangan:

Mani muhtarom adalah yang keluar atau dikeluarkan dengan cara yang diperbolehkan oleh syara'

Tentang anak yang dihasilkan dari sperma, tersebut dapat ilhaq atau tidak kepada pemilik mani terdapat perbedaan pendapat antara Imam Ibnu Hajar dan Imam Romli.

Menurut Imam Ibnu Hajar tidak bisa ilhaq kepada pemilik mani secara mutlaq (baik muhtarom atau tidak) sedang menurut Imam Romli anak tersebut dapat ilhaq kepada pemilik mani dengan syarat keluarnya mani tersebut harus muhtarom.

Dasar Pengambilan Dalil

Al-jami'ul Shoghir hadis no. 8030

مامن ذنب بعد الشرك أعظم عند الله من نطفة وضعها رجل فى رحم لايحل له. رواه ابن الدنا عن الهشيم بن مالك الطائ الجامع الصغير

Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik (menyekutukan Allah ) disisi Allah dari pada maninya seorang laki-laki yang ditaruh pada rahim wanita yang tidak halal baginya. (HR. Ibnu Abid-dunya dari Hasyim bin Malik al-thoi)

Hikmatu Tasyri'wal Safatuhu, II: 48

من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فلا يسقين ماءه زرع أخيه

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali menyiram air (maninya ) pada lahan tanaman (rahim) orang lain.

Al-Qolyubi, IV: 32

ولو أتت بولد عُلِمِ أنه ليس منه مع إمْكَانِه مِنْهُ ( لَزِمَهُ نَفْيُهُ ) لِأَنَّ تَرْكَ النَّفْيِ يَتَضَمَّنُ اسْتِلْحَاقَ مَنْ لَيْسَ مِنْهُ حَرَامٌ.

Apabila seoarang perempuan datang dengan membawa anak, dan diketahui bahwa anak tersebut bukan dari suaminya, dan dapat mungkin dari suaminya (namun secara yakin tidak dari suaminya). Maka wajib meniadakan (menolak mengakui), karena bila tidak dilaksanakan penolakan, dapat dimasukan nasab dari orang yang tidak haram (suaminya).